SETELAH MENIKAH BAGAIMANA RUMAH KITA? // Rishtanata Part 2

Mln. Mubarak Achmad

بسم الله الر حمن الر حيم   نحمده و نصلى على رسوله الكريم   و على عبده المسيح الموعود

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أما بعد

Jumpa lagi para Pembaca dan pendengar Pelita Ilahi yang dianugerahi kasih sayang Ilahi, hari ini kita akan membahas berkenaan Rishtanata tentang SETELAH MENIKAH BAGAIMANA RUMAH KITA? II Rishtanata Part 2

Terkadang, penyebab perselisihan dalam pernikahan adalah karena ketiga sang istri pindah ke tempat suaminya, sang suami tidak memiliki rumah sendiri dan hidup dengan orang tuanya. Kadang-kadang sang suami terpaksa demikian karena mungkin mengalami kesulitan keuangan atau masih menempuh pendidikan sehingga belum mampu mempunyai rumah sendiri. Ini keterpaksaan sebenarnya dan dalam contoh yang demikian, sang istri harus pengertian dan memaafkannya karena belum membeli rumah sendiri disebabkan pendapatan yang kurang mencukupi. Selain itu, ia harus bersabar sementara waktu tinggi di rumah mertuanya sampai dia memperoleh sarana untuk. Dalam kasus tertentu, keluarga pihak wanita bersikap tergesa-gesa dan merusak pernikahan keduanya dan membuat mereka bercerai dengan hasutan tuntutan cerai karenanya. Praktek yang demikian benar-benar salah. Jika pihak istri tidak bisa hidup dengan mertua maka dia seharusnya menyuarakan keberatannya dari awal [saat perjodohan sebelum menikah]. Ia bisa mengakhiri perjodohan dengan melihat keadaan materi sang pemuda.

Namun, ada pemuda tertentu yang sebenarnya mampu membeli tempat sendiri tapi masih hidup serumah dengan orang tua mereka karena sifatnya yang tidak bertanggung jawab dan karena tekanan keluarganya dengan alasan orang tuanya telah tua sehingga ingin membantu orang tuanya dengan tetap tinggal bersama keduanya padahal ia mempunyai saudara-saudara dan saudari-saudari juga yang hidup bersama orangtuanya atau keadaan orang tuanya sehat bukan sakit yang membuat mereka tidak bisa hidup sendiri. Dalam banyak kasus, orang tua dari pihak laki-laki bersikap memusuhi tatkala menantu perempuannya tinggal bersama mereka.

Bagaimanakah pendapat Islam dalam hal ini? Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an (Surah An-Nur, 24: 62), لَّيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.”

Ayat ini panjang dan Hadhrat Khalifatul Masih I ra telah menafsikan sebagian ayat ini dengan penjelasan yang cemerlang: “Banyak orang, terutama yang tinggal di sub benua India (terdiri dari India, Pakistan dan Bangladesh), mengeluh tentang sengketa antara menantu perempuan dan ibu mertuanya di rumah. Namun, jika orang benar-benar berpegang pada ajaran-ajaran Al-Quran, maka masalah tersebut tidak akan pernah muncul. Perhatikanlah! Allah Ta’ala telah memerintahkan di ayat ini dengan jelas bahwa masing-masing [pasangan suami-istri] harus tinggal di tempat terpisah mereka sendiri. Tempat ibu mertua terpisah dari tempat istri putranya. Allah Ta’ala telah mengizinkan makan di rumah-rumah tiap orang tersebut. Hal itu tidak mungkin tanpa rumah mereka itu sendiri-sendiri. Maka dari itu, kecuali keadaan terpaksa, seharusnya rumah-rumah itu sendiri-sendiri. Jika rumah-rumah tiap suami-istri itu sendiri sendiri maka tidak akan terjadi pertengkaran antara seorang istri seseorang dengan ibu mertuanya dan saudari iparnya. Demikian pula, hal itu [pemisahan rumah sendiri-sendiri] juga akan menciptakan perasaan tanggungjawab dalam diri suami-istri.”

Saya ingin mengatakan juga bahwa beberapa keluarga dari pihak para gadis sering bertanya sebelum menikah apakah calon mempelai pria memiliki rumah sendiri dan jika tidak maka mereka akan menolak dan tidak meneruskan proses perjodohan tersebut. Ini juga salah. Bukannya tamak akan hal-hal duniawi seseorang hendaknya melihat sisi agama sang pemuda. Mengenai rumah, dengan berjalannya waktu mereka akan mampu memperoleh rumah mereka sendiri jika cinta memenangkan kehidupan perkawinan. Demikian pula, telah sampai kepada saya berita bahwa keluarga-keluarga tertentu tidak mengizinkan anak-anak perempuan mereka menikah dengan para mubaligh karena mereka telah mewakafkan diri mereka untuk mengkhidmati agama (dan tidak mengejar urusan duniawi). Ini juga salah. Suatu keharusan untuk memandang dari segi agama.

Lantas, Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an telah memerintahkan para laki laki untuk tidak cepat bereaksi mengambil keputusan menentang istri dan agar tidak memperlakukan istri-istri mereka dengan buruk dan membenci sifat mereka. Allah berfirman mengenai itu: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ” … Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”. (04:20)

Menjelaskan ayat ini, Hadhrat Khalifatul Masih I ra menulis, “Wahai orang-orang yang kusayangi, jika ada hal buruk dari kaum wanita kalian tetaplah kalian melalui berbagai cara untuk memperlakukan mereka dengan baik. Allah Ta’ala telah berfirman bahwa dalam hal itu terdapat kebaikan. mungkin Anda tidak menyukai sesuatu, padahal kenyataannya Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Laki-laki yang menjadi sebab ia meninggalkan istrinya, tidak memperlakukan mereka dengan baik atau tidak menjaga perasaannya membenci sebagian sikap istri mereka dan tidak memperlakukan mereka dengan baik, maka sesungguhnya Allah dalam hal ini menyuruh mereka memperlakukan dengan baik istrinya, tidak cepat-cepat mengambil keputusan berdasarkan sifat mereka yang tidak membuat kagum karena ada kebaikan tersembunyi dalam perilaku mereka yang buruk itu secara lahiriah. Kalian akan kehilangan kebaikan itu sebagai akibat ketergesa-gesaan dalam mengambil keputusan dan keburukan sifat mereka. Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memperlakukan dengan baik kaum wanita dengan berbagai cara. Setiap laki-laki harus menempatkan hal ini selalu di benak mereka.”

Demikianlah Nasihat Khalifah saat ini, Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz, 03 Maret 2017 di Masjid Baitul Futuh, pada Khotbah Jumat.

وَالسَّلاَمُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى

1 comments

Tinggalkan komentar